1/06/2016

Rumput Tetangga Tak Selalu Lebih

Hidup berkeluarga itu membahagiakan. Begitu juga hidup menjanda. Ya, menikah ataupun single punya sisi plus dan minus sendiri-sendiri. Ini adalah ungkapan hati yang tulus tentang bagaimana ia menjalani pahit dan manisnya kehidupan menjanda.

Rumput Tetangga Tak Selalu Lebih

Memang, manusia yang paling bahagia adalah manusia yang bisa mensyukuri apa yang dia miliki, apa yang dia alami dan yang mencari rezeki berupa kebahagiaan.

Kadang-kadang saya suka mendengar, “Eh, enak ya dia, kawin, suami keren, jalan-jalan sama anak-anak″ tapi ternyata, beberapa tahun kemudian, sang teman ini curhat tidak bahagia dengan perkawinannya.

Saya baru patah hati. Sebalnya, kita memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan ini karena memang situasinya rumit dan tidak bisa saya ceritakan di sini. Kami sama-sama masih saling menyayangi tetapi tidak bisa dilanjutkan karena situasi dan kondisi yang saat ini belum memungkinkan.

Seperti biasa, saat ‘talak’ jatuh, dunia serasa mau runtuh. Nangis tiga hari terus-terusan. Dandan malas, pakai baju apa adanya dan kebanyakan hitam.

Satu waktu salah satu kolega saya melihat saya menangis pas pulang kantor. Tetapi dia tidak bertanya apa-apa. Hanya tanya, “Are you OK? Can you drive?”. What a good friend. Lalu hari besoknya, dia mampir ke ruangan saya.

Saya tidak cerita sama sekali hubungan pribadi saya, hanya bilang lagi sedih dan down saja. Biasalah, personal problems for the singles. Dia seolah mengerti, dan terucap olehnya, “Well, ada suami juga bukan berarti semuanya happy go lucky”.

Saya mulai menyimak. Kalau dia bicara seperti ini di depan orang lain, pasti orang bilang, “Kamu manager, penghasilan cukup, anak pinter-pinter, suami baik, terus apa lagi?”.

Ya, apa lagi? Kadang yang orang luar tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah tangga. Saya juga tidak tahu apa yang terjadi, hanya terceplos bahwa mereka sedang pisah ranjang.

Wow! Siapa menyangka dia melalui masa itu. Di kantor wajahnya cerah dan kinerjanya top, tapi dia punya masalah hubungan dengan suami.

Di kesempatan lain, setelah mood saya lebih baik, saya dandan dan pakai kemeja berwarna. Saya mampir di ruangannya. Saya baru saja meminta izin untuk cuti 7 hari. “Mau ke Phillipines”, kata saya kepadanya.

Lalu dia bilang, “Kadang-kadang aku suka mikir, kayaknya enak jadi single ya. Mau kemana-mana bebas tinggal angkat kopor. Kalau aku, pengen rasanya break sejenak tapi anak-anakku pasti ingin ikut, dan lalu buyar deh ‘me time’ nya”.

Yang kawin ingin balik single merasakan kebebasan dan kemandirian penuh atas rencana-rencana mereka. Seperti saya, kalau ada yang ngajak nyelam, cocokin harga dan jadwal, berangkat. Kalau ada yang mau ajak begadang dengerin blues di BB’s, pulang jam 2 tidak ada masalah.

Mau bangun siang kalau weekend atau cuma leyeh-leyeh siang-siang, bisa saja. Tidak ada yang mengatur hidup saya dalam arti kata, tidak perlu menyesuaikan ke jadwal anak maupun suami.

Tapi apakah mereka tahu downside dari being single?

Yang paling sering saya rasakan adalah tidak adanya shoulder to cry on yang reliable setiap saat. Semua sendiri, tidak ada yang memikirkan kita full 24 jam dan menjadikan saya prioritas utama setelah, misalnya, anak-anak.

Semua beban saya bawa sendiri ke rumah, saya pecahkan sendiri. Teman-teman ada, tetapi mereka juga tidak selamanya available karena kebanyakan sudah berkeluarga.

Pekerjaan rumah seperti membetulkan genteng, keran bocor, tukang sampah, semua saya yang urus sendiri. Mobil ngadat, bawa sendiri ke bengkel dan kadang waswas jangan-jangan ditipu karena saya perempuan.

Tidak ada tempat sharing, kalau lihat sesuatu yang bagus terus ingat orang itu. Semua sendiri.

Kalau berpikir pada yang tidak enak saja dan tidak mengambil action, kita tidak bahagia. Action yang diambil adalah melarikan diri ke hobby. Itu paling efektif dalam. Mulai hal-hal baru.

Entah menyulam, menyulap, apa saja untuk mendapatkan interest baru yang tidak sempat dilakukan selama masih menikah. Mulailah melihat badan yang agak gemuk dan buat program. Karena single, bebas saja melatih diri selama apapun di gym.

Yang menikah, paling enak bisa melarikan perhatian dan energi kepada anak-anak. Karena anak-anak adalah sumber kebahagiaan keluarga. Sibuk membantu buat PR, walaupun banyak hal lain yang bisa di-discover juga dengan sekedar membaca.

Atau apa saja, karena menikah bukan berarti diri kita dijadikan nomor dua oleh pasangan. Kita juga harus berkembang.

Ada yang bilang, kalau kita semua disuruh meletakkan masalah-masalah kita di karung dan ditaruh di lapangan bola dan boleh tuker-tukeran karung, kita akan mengambil karung kita kembali. Karena kita tidak tahu masalah masing-masing orang, baik yang sudah nikah maupun yang single itu apa.

Di luar bisa kelihatan baik, di dalam mungkin pepesan kosong yang hanya memenuhi status sosial dan menghindari stigma. Alias, makan hati.

Di luar bisa kelihatan senang karena bisa jalan-jalan dan terlihat glamour, padahal jalan-jalannya juga sendiri, sama satu dua orang teman dekat (yang jomblo juga), kadang mengisi kesepian karena tidak ada teman ngobrol.

Masing-masing ada plus dan minusnya. Karena itu, pandai-pandai mensyukuri apa yang ada. Kebahagiaan itu ada di mana-mana, tinggal mau membuka pikiran untuk mencarinya.

Rumput tetangga tidak selalu lebih indah dari rumput sendiri.

(Origin: Janda Kaya)

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.